”KEMBALI
PULANG”
S
|
ang
fajar mulai menampakkan dirinya di ufuk timur. Kokok ayam berusaha membangunkan
tidur lelapku. Hawa sejuk juga berusaha menyibak selimut tebalku. Namun,
percuma saja, semua itu takkan mampu membangunkanku. Hari ini adalah hari
minggu, jadi hari ini adalah hari santai untukku. Tak ada yang memerintahkanku
hari ini. Ibarat sebuah istana, akulah Sang ratu. Namun suara ibu memecahkan khayalanku.
“Keyla…bangun!”
teriak ibu
memekakan telingaku.
“Eumh,”
aku hanya menggeliat menanggapi perintah Ibuku.
Sesaat kemudian, tak kudengar teriakan Ibuku, jadi aku bisa
meneruskan tidur lelapku. Sampai saat tetes-tetes air jatuh tepat dipelupuk
mata sipitku. Apakah sedang hujan? Mana mungkin? Apakah atapnya berlubang
sehingga air bisa masuk? Tak ku hiraukan semua itu, semakin kurapatkan selimut
tebal ini untuk membalut seluruh tubuhku. Lama kelamaan, tetes-tetes air itu
bertambah banyak, kali ini bukan hanya satu atau dua lagi, tetapi puluhan.
Dengan malas perlahan kubuka pintu mataku. Emmh… Tenyata…
“Ooo…
sudah bangunkah ratu malas?” Tanya ibu padaku.
“Aaa…
Ibu aku masih malas, lagi pula inikan hari minggu, jadi ini adalah hari santai
untukku,” rengekku pada Ibu.
“Ooo…
tidak bisa, bangun-bangun!!” perintah
ibu sambil menyibak selimutku.
“Hari
ini kita akan pergi ke desa, kita mau mengunjungi kakek. Cepat mandi sana!”.
“Kakek?”
tanyaku memastikan penyataan ibu.
“Iya…”
jawab ibu.
Setelah
tahu kalau kami akan ke rumah kakek, aku sungguh senang karena aku sangat
menyanyangi kakekku yang satu itu. Beliau sangat ramah, sayang kepada anak dan
cucunya. Satu lagi Beliau sangat keras kepala. Kenapa keras kepala? Karena
Beliau sangat susah untuk di bujuk agar ikut tinggal bersama kami di kota.
Padahal ia hanya hidup sendirian di desa. Nenekku sudah wafat 15 tahun silam.
Tak ada sanak saudara kami yang tinggal di desa itu, namun tak ada satu rayuanpun
yang mempan untuk membujuk kakek agar meninggalkan desa itu. Entah kenapa kakek
juga tidak pernah menjengukku di kota. Apakah itu sebuah pantangan? Aku tak
tahu rahasia di balik semua itu. Oh ya, Kakekku kini umurnya sudah menginjak 75
tahun dengan rambutnya yang sudah didominasi oleh uban, pendengaran yang
sedikit terganggu, mata yang mulai buram dan batuknya yang masih setia
menemaninya. Namun semua itu tidak mengurangi kasih sayangnya pada anak dan
cucunya.
“Hey
kenapa bengong?” bentak ibu sambil menepuk tangannya di depan wajahku.
“E...enggak kok
bu,” jawabku gugup.
“Ya
sudah mandi sana!” perintah ibuku sekali lagi.
Usai mandi dan berdandan, kuarahkan
kaki ini menuju ruang favoritku. Ya, apalagi kalau bukan ruang makan. Terlihat
banyak makanan disana, salah satunya makanan kesukaanku yaitu ayam goreng.
Segera ku santap dengan lahap hidangan yang ada di meja.
Setelah selesai sarapan, aku
bergegas menuju ke mobil. Saking semangatnya hampir saja aku terjatuh. Kami
beranjak meninggalkan kota yang bising ini menuju desa yang permai dimana kakek
tinggal. Jarak rumahku dengan rumah kakek cukup jauh dan melelahkan. Tetapi
semua itu hilang jika sudah merasakan suasana desa yang asri.
Tak
terasa kami sudah memasuki wilayah Desa Sananwetan. Berarti tak lama lagi kami akan sampai di rumah kakek. Tak perlu waktu lama,
Ayahku membelokkan kemudi mobilnya ke sebuah rumah. Inilah tempat dimana
kakekku menghabiskan sisa nafasnya. Rumah kayu yang bercatkan putih, halaman
yang cukup luas yang dihuni oleh sebatang pohon rambutan dan berlatarkan kebun
belimbing. Tampak seorang lelaki renta sedang duduk santai di samping rumah.
“Kakek,”
pekikku aku turun dari mobil lalu berlari kearahnya, agar aku bisa merasakan
pelukan hangat darinya.
“Oh
Keyla, kau tahu kakek sangat merindukanmu” ucap kakek kepadaku.
“Memangnya
kapan kakek tidak merindukanku? Kakek kan slalu merindukanku” jawabku dengan
PD yang disambut tawa oleh semua yang mendengarnya, tak terkecuali aku sendiri.
Semua masuk ke dalam, tetapi aku
memilih untuk tetap berada di luar. Aku berjalan menuju samping rumah kakek.
Terlihat banyak bunga-bunga mawar yang telah membuka kelopaknya. Aku terus
berjalan menyusuri hamparan bunga mawar, tak terasa ternyata…
“Aduh”
kakiku tersandung batu, kulihat lututku berlumuran darah”
“Ada
apa nduk?” Tanya kakekku dengan wajah
khawatir.
“Aku terjatuh kek...” Jawabku dengan
memasang wajah melas.
Kakek membawaku menuju kamarnya dan
mengobati kakiku dengan obat-obatan herbal ala kakek.
“Kamu
pasti jalan sambil melamun kan?, makanya kamu bisa jatuh” Tanya ibu dengan nada sedikit menuduh.
“Enggak
kok,Keyla hanya memikirkan…”
“Memikirkan
apa sih?” Tanya kakek. Aku hanya diam.
“Ya sudah ,
kami kebelakang dulu, kamu istirahat dulu disini.” Ijin ibu.
Semua meninggalkan aku sendirian di
kamar kakek. Aku merasa sedikit gerah berada di kamar ini. Ku cari kipas atau
sejenisnya yang mungkin bisa sedikit mendinginkan suhu tubuhku. Ku buka laci
kamar kakek. Aku tidak menemukan kipas di dalamnya, tapi kulihat sebuah album tua
dengan judul yang bertuliskan huruf jawa. Aku tak mempunyai nyali untuk
mengambilnya, aku hanya bisa menutup kembali laci tersebut. Tapi aku semakin di
selimuti rasa penasaran. Kuberanikan untuk membuka lagi laci itu dan kuambil
album tua yang berdebu di dalamnya.
Ku usap debu yang menyelimuti buku itu, dan perlahan mulai kubuka. Ternyata
isinya foto-foto kakek dan nenek. Sekarang aku bisa tahu wajah nenekku yang sebenarnya.
Ternyata khayalanku selama ini benar-benar nyata, wajah nenekku sangat cantik.
Album tua itu banyak menyimpan
kenangan-kenangan kakek bersama nenek. Di halaman terakhir ku menemukan sebuah
catatan. Catatan itu berisi janji kakek dan nenek yang akan menghabiskan
sisa-sisa terakhir nafasnya di gubuk ini berdua dan berjanji tidak akan
meninggalkan gubuk tua ini dengan alasan apapun, dan satu lagi mereka tak akan
pernah mau pergi ke kota. Karena kota itu jauh dari ketenangan.
Sekarang aku tahu mengapa selama ini
kakek tak pernah mau untuk menjengukku di kota. Sebenarnya aku setuju dengan
pendapat mereka bahwa di kota itu jauh dari ketenangan. Akupun juga lebih
senang tinggal di rumah
kakek dari pada tinggal di rumahku
sendiri.
“Keyla,
sini nak!” Teriak ibu mengagetkanku. Ku kembalikan
album tua itu ke tempat semula. Lalu ku hampiri ayah, ibu, dan kakek yang
sedang di halaman belakang.
“Iya
bu, ada apa?” Tanyaku
sambil menghampiri ibu.
“Ini
ayahmu tadi memetikkan belimbing untukkmu” sambil menyodorkan piring yang
berisi belimbing yang telah dikupas.
Saat
melihat kakek, catatan dalam album tadi melayang-layang tak jelas dalam
pikiranku. Kutatap semakin dalam wajah kakek.
“Keyla,
kakek tahu kakek ini masih ganteng dan gagah, tapi perlukah kamu memandang
kakek seperti itu, sampai-sampai kamu lupa bagaimana cara menutup mulutmu.
Hahaha…” Ucap kakekku yang di sambut tawa oleh Ayahku. Ya, suara yang besar
yang memaksaku untuk kembali ke dunia
nyata itu ternyata adalah kakekku ini. Tunggu dulu apa yang tadi kakek katakan
‘ganteng dan gagah’ aduh… pede sekali kakekku ini.
“Ganteng?
tanyaku tak percaya pada kakek. “Ganteng dari Hongkong…. Haduh, ternyata kakek
ini suka kepedean juga
ya” lanjutku sembari tertawa.
“Keyla.. keyla, kamu ini
bisa saja.” Kata ibu sambil geleng-geleng dan kembali menyodorkan piring tadi.
“Mau tidak? Kalau
tidak mau ibu makan sendiri” Tanya ibu padaku.
“Mau,mau.. sini”
mintaku pada ibu. Tak perlu waktu lama, piring yang berisi penuh belimbing tadi
sekarang sudah kosong. Sampai-sampai kakek heran melihatku.
Hari
sudah beranjak sore, mentari pun beranjak pulang ke peristirahatannya. Berarti
kami sudah hampir seharian berada dirumah kakek. Ayah mengajakku untuk pulang
karena hari sudah mulai gelap dan aku
harus belajar untuk besok. Kakek mengantarkan kami sampai halaman depan.
“
Pak, apakah ini sudah keputusan bapak yang terakhir. Bapak benar-benar tidak
mau ikut kami ke kota?” Tanya ibu pada kakek.
“Sudahlah tak
usah hiraukan bapak, disini bapak baik-baik saja kok. Lagi pula masih banyak
tetangga yang masih peduli sama bapak,” jawab kakek meyakinkan ibu.
Aku hanya diam menanggapi jawaban
kakek. Biasanya aku merengek padanya agar kakek mau ikut kami ke kota. Apa karena aku sudah tahu janji
kakek bersama nenek. Tetapi dalam lubuk hati kecilku, aku juga ingin kakek ikut
tinggal bersama kami.
Aku
masuk ke mobil sambil melambaikan tangan pada kakek. Kami pun beranjak pergi
meninggalkan rumah kakek. Diperjalanan, pikiranku tetap tertuju kepada kakek.
Tiba-tiba tersirat hal yang aneh di dalam perasaanku. Aku takut jika aku harus
kehilangan kakek, jujur aku bingung kenapa pikiran jelek itu selalu menghantui
pikiranku akhir-akhir ini.
Tak
terasa kini kami sudah sampai rumah. Segera kulangkahkan kakiku menuju kamar.
Kali ini aku tak belajar ataupun makan malam, aku hanya duduk tertegun di meja
belajar dan terus memikirkan kakek.
***
Satu bulan kemudian, aku masih
sering duduk di meja belajarku. Menata semua buku-buku pelajaran yang hendak ku
bawa besok. Malam ini cahaya bintang terlihat samar-samar di angkasa. Begitu
pula dengan cahaya bulan yang ditutupi oleh segumpal awan gelap yang biasa
disebut dengan mendung.
“Keyla,
makan malam sudah siap. Ayo kita makan bersama,” Ajak ibu.
“Iya bu,
sebentar.” Jawabku seraya berteriak.
Perlahan ku hampiri ibu di meja
makan. Sesampainya disana, aku melihat seseorang yang sepertinya aku kenal.
“Kakek…”
teriakku sambil menghampiri kakek. “Kapan kakek datang?”
“Tadi
sore. Waktu kamu masih tidur,” Jawabnya dengan menyelipkan senyuman
padaku.
“Kakek
kesini sama siapa?” Tanyaku
lagi.
“Tadi
diantar mas Ujang, tetangga kakek. Tapi sekarang lagi keluar, katanya mau
mengisi bensin”
“Oooo,
gitu” Jawabku
sambil mangguk-mangguk.
“Sudah-sudah
yuk makan,” Ajak
ayah.
Impian yang telah ku inginkan dari
dulu, akhirnya bisa terwujud juga. Aku tak tahu entah mengapa kakek menjadi
berubah pikiran.
Ibu hari ini masak makanan yang
serba istimewa. Aku senang sekali bisa makan bersama dengan kakek di rumahku.
Ibu juga tampak bahagia kakek mau berkunjung ke rumah kami.
Akhirnya
makan malampun selesai juga. Ku harap kakek juga akan menginap walau hanya
semalam, tapi harapan itu pupus kakek lebih memilih untuk pulang.
“Kakek
pulang dulu ya, kapan-kapan kakek datang lagi.” Ijin kakek untuk pulang.
“Kok
terburu-buru sih, pak. Besok saja, sekarang menginap saja dulu disini,” Bujuk ibu.
“Iya
pak, menginaplah barang sekali, dua kali.” Ayah menambahinya.
“Tidak
usah, kasihan Ujang nanti kalau pulang sendirian.” Kakek mencoba beralasan.
“Kek
nanti mas Ujang suruh menginap saja” Ku coba berikan sedikit solusi.
“Sudahlah
lebih baik kakek pulang saja. Oh ya…Keyla jaga ayah dan ibumu. Jadilah anak
yang bisa dibanggakan oleh ayah dan ibumu. Jangan pernah kau membantah
perintahnya. Dan satu lagi, sering-sering datang kerumah kakek ya. Kakek pulang
Assalamualaikum,”
Aku
hanya bisa menganggukkan kepalaku. Dan menjawabnya dengan ikhlas. Kakek bukan
tipe orang yang mudah dibujuk. Namun, jika ia berkehendak maka ia melakukannya.
Seperti hari-hari yang lau. Saatku coba membujuknya untuk ikut tinggal bersama
kami di kota, ia bersikeras pada pendiriannya. Tapi hari ini, tanpa diduga
kakek datang
sendiri.
Malam
telah berlalu. Kini pagi datang menjemput. Semua aktivitas berjalan
seperti biasa. Ayah sibuk dengan bisnisnya, ibu masih di rumah seperti biasa menyiram bunga,
menyapu, masak, dan masih banyak kegiatan lainnya. Aku berangkat sekolah lebih
siang dari hari-hari sebelumnya. Entah mengapa hari ini aku ingin membolos
saja. Perasaanku tidak enak. Tak ada semangat untuk pergi ke sekolah. Bahkan
untuk berjalanpun rasanya kakiku sudah tak kuat. Namun, aku harus melawan rasa
malas ini.
Sesampainya
di sekolah, aku mendapat kabar dari pak satpam.
“Keyla,
kakek kamu meninggal dunia. Akibat terjatuh dari sawah. Sekarang kamu diperbolehkan
meninggalkan kelas lebih awal.” Ucap pak satpam.
Tubuhku yang lemas, kini semakin
melemas. Aku tak tahu harus apa. Kakiku tak dapat ku gerakkan. Sekujur tubuhku
lemas. Aku jatuh tersungkur di atas lantai koridor kelasku. Semua anak
berdesakkan mengerumuniku. Aku semakin tak berdaya, otakku kosong. Air mataku
tak dapat aku bendung.
Dan semuanya menjadi gelap, gelap tak ada cahaya.
“Keyla,
kamu sudah sadar nak?” Tanya ibu saat
aku membuka mata.
“Aku
dimana bu?” Tany aku
penasaran, sembari memegang kepalaku yang masih sedikit sakit.
“Kamu
dirumah nak. Tadi kamu pingsan, gurumu yang membawamu pulang.”
“Kakek
gimana bu?” Tanyaku
sambil meneteskan air mata. Ibu hanya diam membisu. Tidak menjawab
pertanyaanku. “Bu jawab bu!” Pintaku sedikit berteriak.
“Kakek
sudah dikebumikan nak.” Jawab ibu
dengan diiringi tetesan air mata yang mengalir disepanjang pipinya.
Aku terdiam dan tak sanggup lagi
berkata-kata. Kakek adalah orang yang paling aku sayang.
“Antar
aku ke makam kakek, bu. Sekarang!” Pintaku seraya berdiri dengan meneteskan air mata.
“Tapi
nak…”
“Ayo
bu !”
Tanpa berpikir panjang, ibu langsung
membopongku masuk ke mobil. Di sepanjang jalan, aku mengenang wajah renta itu.
Kulit keriput
dan mata sayu itu telah memberiku setitik arti kehidupan. Pesan-pesannya yang
terakhir akan aku simpan dalam ingatanku yang terdalam.
Sesampainya di makam kakek, aku termenung. Aku usap
nisannya yang masih baru itu. Aku remas tanah yang menyelimuti tubuh kakek itu.
Dan serpihan mawar yang bertabur memenuhi gundukan peristirahatan kakek. Aku
menjerit, menangis, dan berteriak.
“Tuhan,
kau sudah ambil nenekku. Kenapa sekarang kau ambil kakekku Tuhan. Kenapa? Apa
tak cukup kau berikan aku kesedihan karena kau ambil nenekku?” Tanyaku
memberontak takdir Tuhan. Tak ada sepatah kata pun yang menjawabku. Bahkan
serpihan mawar yang terbang tertiup angin meninggalkan aku dan gundukan itu.
“Keyla,
ayo pulang! Sudah sore”
“Aku
masih ingin bersama kakek bu”
“Sudahlah,
ayo kapan-kapan kita berkunjung lagi kemari. Kita bawakan mawar-mawar serta doa
untuknya.” Ibu coba membujukku.
Dan akupun mengikuti kata-kata ibu.
Kami bergegas untuk pulang. Karena cuaca semakin mendung. Ibu khawatir kalau
hujan datang tiba-tiba.
Hari berganti hari. Semenjak
kematian kakek aku suka menyendiri. Merenungkan segala nasib baik burukku
selama ini. Dan merenungkan pula kata-kata kakek yang di sampaikan saat
terakhir bertemu denganku. Aku janji kek, aku tak akan mengecewakanmu, serta
akan menjadi anak kebanggaan ayah dan ibu.
Tuhan, terimakasih Tuhan, karena kau
telah memperkenalkan aku dengan seorang kakek yang begitu sayang padaku. Dan
terimakasih Tuhan Engkau masih menyisakan orang yang menyayangiku untuk tinggal
di sisiku. Kini aku tahu semua berawal dari-Mu dan akan kembali pula pada-Mu
Tuhan.
***SELESAI***