Halaman

Rabu, 26 Februari 2014

CERPEN KITA


”KEMBALI PULANG”
S
ang fajar mulai menampakkan dirinya di ufuk timur. Kokok ayam berusaha membangunkan tidur lelapku. Hawa sejuk juga berusaha menyibak selimut tebalku. Namun, percuma saja, semua itu takkan mampu membangunkanku. Hari ini adalah hari minggu, jadi hari ini adalah hari santai untukku. Tak ada yang memerintahkanku hari ini. Ibarat sebuah istana, akulah Sang ratu. Namun suara ibu memecahkan khayalanku.
“Keyla…bangun!” teriak ibu memekakan telingaku.
“Eumh,” aku hanya menggeliat menanggapi perintah Ibuku.
            Sesaat kemudian, tak kudengar teriakan Ibuku, jadi aku bisa meneruskan tidur lelapku. Sampai saat tetes-tetes air jatuh tepat dipelupuk mata sipitku. Apakah sedang hujan? Mana mungkin? Apakah atapnya berlubang sehingga air bisa masuk? Tak ku hiraukan semua itu, semakin kurapatkan selimut tebal ini untuk membalut seluruh tubuhku. Lama kelamaan, tetes-tetes air itu bertambah banyak, kali ini bukan hanya satu atau dua lagi, tetapi puluhan. Dengan malas perlahan kubuka pintu mataku. Emmh… Tenyata…
“Ooo… sudah bangunkah ratu malas?” Tanya ibu padaku.
“Aaa… Ibu aku masih malas, lagi pula inikan hari minggu, jadi ini adalah hari santai untukku,” rengekku pada Ibu.
“Ooo… tidak bisa, bangun-bangun!!” perintah ibu sambil menyibak selimutku.
“Hari ini kita akan pergi ke desa, kita mau mengunjungi kakek. Cepat mandi sana!”.
“Kakek?” tanyaku memastikan penyataan ibu.
“Iya…” jawab ibu.
Setelah tahu kalau kami akan ke rumah kakek, aku sungguh senang karena aku sangat menyanyangi kakekku yang satu itu. Beliau sangat ramah, sayang kepada anak dan cucunya. Satu lagi Beliau sangat keras kepala. Kenapa keras kepala? Karena Beliau sangat susah untuk di bujuk agar ikut tinggal bersama kami di kota. Padahal ia hanya hidup sendirian di desa. Nenekku sudah wafat 15 tahun silam. Tak ada sanak saudara kami yang tinggal di desa itu, namun tak ada satu rayuanpun yang mempan untuk membujuk kakek agar meninggalkan desa itu. Entah kenapa kakek juga tidak pernah menjengukku di kota. Apakah itu sebuah pantangan? Aku tak tahu rahasia di balik semua itu. Oh ya, Kakekku kini umurnya sudah menginjak 75 tahun dengan rambutnya yang sudah didominasi oleh uban, pendengaran yang sedikit terganggu, mata yang mulai buram dan batuknya yang masih setia menemaninya. Namun semua itu tidak mengurangi kasih sayangnya pada anak dan cucunya.
“Hey kenapa bengong?” bentak ibu sambil menepuk tangannya di depan wajahku.
“E...enggak kok bu,” jawabku gugup.
“Ya sudah mandi sana!” perintah ibuku sekali lagi.
            Usai mandi dan berdandan, kuarahkan kaki ini menuju ruang favoritku. Ya, apalagi kalau bukan ruang makan. Terlihat banyak makanan disana, salah satunya makanan kesukaanku yaitu ayam goreng. Segera ku santap dengan lahap hidangan yang ada di meja.
            Setelah selesai sarapan, aku bergegas menuju ke mobil. Saking semangatnya hampir saja aku terjatuh. Kami beranjak meninggalkan kota yang bising ini menuju desa yang permai dimana kakek tinggal. Jarak rumahku dengan rumah kakek cukup jauh dan melelahkan. Tetapi semua itu hilang jika sudah merasakan suasana desa yang asri.
Tak terasa kami sudah memasuki wilayah Desa Sananwetan. Berarti tak lama lagi kami akan sampai di rumah kakek. Tak perlu waktu lama, Ayahku membelokkan kemudi mobilnya ke sebuah rumah. Inilah tempat dimana kakekku menghabiskan sisa nafasnya. Rumah kayu yang bercatkan putih, halaman yang cukup luas yang dihuni oleh sebatang pohon rambutan dan berlatarkan kebun belimbing. Tampak seorang lelaki renta sedang duduk santai di samping rumah.
“Kakek,” pekikku aku turun dari mobil lalu berlari kearahnya, agar aku bisa merasakan pelukan hangat darinya.
“Oh Keyla, kau tahu kakek sangat merindukanmu” ucap kakek kepadaku.
“Memangnya kapan kakek tidak merindukanku? Kakek kan slalu merindukanku” jawabku dengan PD yang disambut tawa oleh semua yang mendengarnya, tak terkecuali aku sendiri.
            Semua masuk ke dalam, tetapi aku memilih untuk tetap berada di luar. Aku berjalan menuju samping rumah kakek. Terlihat banyak bunga-bunga mawar yang telah membuka kelopaknya. Aku terus berjalan menyusuri hamparan bunga mawar, tak terasa ternyata…
“Aduh” kakiku tersandung batu, kulihat lututku berlumuran darah”
“Ada apa nduk?” Tanya kakekku dengan wajah khawatir.
“Aku terjatuh kek...” Jawabku dengan memasang wajah melas.
            Kakek membawaku menuju kamarnya dan mengobati kakiku dengan obat-obatan herbal ala kakek.
“Kamu pasti jalan sambil melamun kan?, makanya kamu bisa jatuh” Tanya ibu dengan nada sedikit menuduh.
“Enggak kok,Keyla hanya memikirkan…”
“Memikirkan apa sih?” Tanya kakek. Aku hanya diam.
Ya sudah , kami kebelakang dulu, kamu istirahat dulu disini.” Ijin ibu.
            Semua meninggalkan aku sendirian di kamar kakek. Aku merasa sedikit gerah berada di kamar ini. Ku cari kipas atau sejenisnya yang mungkin bisa sedikit mendinginkan suhu tubuhku. Ku buka laci kamar kakek. Aku tidak menemukan kipas di dalamnya, tapi kulihat sebuah album tua dengan judul yang bertuliskan huruf jawa. Aku tak mempunyai nyali untuk mengambilnya, aku hanya bisa menutup kembali laci tersebut. Tapi aku semakin di selimuti rasa penasaran. Kuberanikan untuk membuka lagi laci itu dan kuambil album tua yang berdebu di dalamnya. Ku usap debu yang menyelimuti buku itu, dan perlahan mulai kubuka. Ternyata isinya foto-foto kakek dan nenek. Sekarang aku bisa tahu wajah nenekku yang sebenarnya. Ternyata khayalanku selama ini benar-benar nyata, wajah nenekku sangat cantik.
            Album tua itu banyak menyimpan kenangan-kenangan kakek bersama nenek. Di halaman terakhir ku menemukan sebuah catatan. Catatan itu berisi janji kakek dan nenek yang akan menghabiskan sisa-sisa terakhir nafasnya di gubuk ini berdua dan berjanji tidak akan meninggalkan gubuk tua ini dengan alasan apapun, dan satu lagi mereka tak akan pernah mau pergi ke kota. Karena kota itu jauh dari ketenangan.
            Sekarang aku tahu mengapa selama ini kakek tak pernah mau untuk menjengukku di kota. Sebenarnya aku setuju dengan pendapat mereka bahwa di kota itu jauh dari ketenangan. Akupun juga lebih senang tinggal di rumah kakek dari pada tinggal di rumahku sendiri.
“Keyla, sini nak!” Teriak ibu mengagetkanku. Ku kembalikan album tua itu ke tempat semula. Lalu ku hampiri ayah, ibu, dan kakek yang sedang di halaman belakang.
“Iya bu, ada apa?” Tanyaku sambil menghampiri ibu.
“Ini ayahmu tadi memetikkan belimbing untukkmu” sambil menyodorkan piring yang berisi belimbing yang telah dikupas.
Saat melihat kakek, catatan dalam album tadi melayang-layang tak jelas dalam pikiranku. Kutatap semakin dalam wajah kakek.
“Keyla, kakek tahu kakek ini masih ganteng dan gagah, tapi perlukah kamu memandang kakek seperti itu, sampai-sampai kamu lupa bagaimana cara menutup mulutmu. Hahaha…” Ucap kakekku yang di sambut tawa oleh Ayahku. Ya, suara yang besar yang memaksaku untuk kembali ke dunia nyata itu ternyata adalah kakekku ini. Tunggu dulu apa yang tadi kakek katakan ‘ganteng dan gagah’ aduh… pede sekali kakekku ini.
“Ganteng? tanyaku tak percaya pada kakek. “Ganteng dari Hongkong…. Haduh, ternyata kakek ini suka kepedean juga ya” lanjutku sembari tertawa.
“Keyla.. keyla, kamu ini bisa saja.” Kata ibu sambil geleng-geleng dan kembali menyodorkan piring tadi.
Mau tidak? Kalau tidak mau ibu makan sendiri” Tanya ibu padaku.
“Mau,mau.. sini” mintaku pada ibu. Tak perlu waktu lama, piring yang berisi penuh belimbing tadi sekarang sudah kosong. Sampai-sampai kakek heran melihatku.
Hari sudah beranjak sore, mentari pun beranjak pulang ke peristirahatannya. Berarti kami sudah hampir seharian berada dirumah kakek. Ayah mengajakku untuk pulang karena  hari sudah mulai gelap dan aku harus belajar untuk besok. Kakek mengantarkan kami sampai halaman depan.
“ Pak, apakah ini sudah keputusan bapak yang terakhir. Bapak benar-benar tidak mau ikut kami ke kota?” Tanya ibu pada kakek.
Sudahlah tak usah hiraukan bapak, disini bapak baik-baik saja kok. Lagi pula masih banyak tetangga yang masih peduli sama bapak,” jawab kakek meyakinkan ibu.
            Aku hanya diam menanggapi jawaban kakek. Biasanya aku merengek padanya agar kakek mau ikut kami ke kota. Apa karena aku sudah tahu janji kakek bersama nenek. Tetapi dalam lubuk hati kecilku, aku juga ingin kakek ikut tinggal bersama kami.
Aku masuk ke mobil sambil melambaikan tangan pada kakek. Kami pun beranjak pergi meninggalkan rumah kakek. Diperjalanan, pikiranku tetap tertuju kepada kakek. Tiba-tiba tersirat hal yang aneh di dalam perasaanku. Aku takut jika aku harus kehilangan kakek, jujur aku bingung kenapa pikiran jelek itu selalu menghantui pikiranku akhir-akhir ini.
Tak terasa kini kami sudah sampai rumah. Segera kulangkahkan kakiku menuju kamar. Kali ini aku tak belajar ataupun makan malam, aku hanya duduk tertegun di meja belajar dan terus memikirkan kakek.
***
            Satu bulan kemudian, aku masih sering duduk di meja belajarku. Menata semua buku-buku pelajaran yang hendak ku bawa besok. Malam ini cahaya bintang terlihat samar-samar di angkasa. Begitu pula dengan cahaya bulan yang ditutupi oleh segumpal awan gelap yang biasa disebut dengan mendung.
“Keyla, makan malam sudah siap. Ayo kita makan bersama,” Ajak ibu.
Iya bu, sebentar.” Jawabku seraya berteriak.
            Perlahan ku hampiri ibu di meja makan. Sesampainya disana, aku melihat seseorang yang sepertinya aku kenal.
“Kakek…” teriakku sambil menghampiri kakek. “Kapan kakek datang?”
“Tadi sore. Waktu kamu masih tidur,” Jawabnya dengan menyelipkan senyuman padaku.
“Kakek kesini sama siapa?” Tanyaku lagi.
“Tadi diantar mas Ujang, tetangga kakek. Tapi sekarang lagi keluar, katanya mau mengisi bensin”
“Oooo, gitu” Jawabku sambil mangguk-mangguk.
“Sudah-sudah yuk makan,” Ajak ayah.
            Impian yang telah ku inginkan dari dulu, akhirnya bisa terwujud juga. Aku tak tahu entah mengapa kakek menjadi berubah pikiran.
            Ibu hari ini masak makanan yang serba istimewa. Aku senang sekali bisa makan bersama dengan kakek di rumahku. Ibu juga tampak bahagia kakek mau berkunjung ke rumah kami.
Akhirnya makan malampun selesai juga. Ku harap kakek juga akan menginap walau hanya semalam, tapi harapan itu pupus kakek lebih memilih untuk pulang.
“Kakek pulang dulu ya, kapan-kapan kakek datang lagi.” Ijin kakek untuk pulang.
“Kok terburu-buru sih, pak. Besok saja, sekarang menginap saja dulu disini,” Bujuk ibu.
“Iya pak, menginaplah barang sekali, dua kali.” Ayah menambahinya.
“Tidak usah, kasihan Ujang nanti kalau pulang sendirian.” Kakek mencoba beralasan.
“Kek nanti mas Ujang suruh menginap saja” Ku coba berikan sedikit solusi.
“Sudahlah lebih baik kakek pulang saja. Oh ya…Keyla jaga ayah dan ibumu. Jadilah anak yang bisa dibanggakan oleh ayah dan ibumu. Jangan pernah kau membantah perintahnya. Dan satu lagi, sering-sering datang kerumah kakek ya. Kakek pulang Assalamualaikum,”
Aku hanya bisa menganggukkan kepalaku. Dan menjawabnya dengan ikhlas. Kakek bukan tipe orang yang mudah dibujuk. Namun, jika ia berkehendak maka ia melakukannya. Seperti hari-hari yang lau. Saatku coba membujuknya untuk ikut tinggal bersama kami di kota, ia bersikeras pada pendiriannya. Tapi hari ini, tanpa diduga kakek datang sendiri.
Malam telah berlalu. Kini pagi datang menjemput. Semua aktivitas berjalan seperti biasa. Ayah sibuk dengan bisnisnya, ibu masih di rumah seperti biasa menyiram bunga, menyapu, masak, dan masih banyak kegiatan lainnya. Aku berangkat sekolah lebih siang dari hari-hari sebelumnya. Entah mengapa hari ini aku ingin membolos saja. Perasaanku tidak enak. Tak ada semangat untuk pergi ke sekolah. Bahkan untuk berjalanpun rasanya kakiku sudah tak kuat. Namun, aku harus melawan rasa malas ini.
Sesampainya di sekolah, aku mendapat kabar dari pak satpam.
“Keyla, kakek kamu meninggal dunia. Akibat terjatuh dari sawah. Sekarang kamu diperbolehkan meninggalkan kelas lebih awal.” Ucap pak satpam.
            Tubuhku yang lemas, kini semakin melemas. Aku tak tahu harus apa. Kakiku tak dapat ku gerakkan. Sekujur tubuhku lemas. Aku jatuh tersungkur di atas lantai koridor kelasku. Semua anak berdesakkan mengerumuniku. Aku semakin tak berdaya, otakku kosong. Air mataku tak dapat aku bendung. Dan semuanya menjadi gelap, gelap tak ada cahaya.
“Keyla, kamu sudah sadar nak?” Tanya ibu saat aku membuka mata.
“Aku dimana bu?” Tany   aku penasaran, sembari memegang kepalaku yang masih sedikit sakit.
“Kamu dirumah nak. Tadi kamu pingsan, gurumu yang membawamu pulang.”
“Kakek gimana bu?” Tanyaku sambil meneteskan air mata. Ibu hanya diam membisu. Tidak menjawab pertanyaanku. “Bu jawab bu!” Pintaku sedikit berteriak.
“Kakek sudah dikebumikan nak.” Jawab ibu dengan diiringi tetesan air mata yang mengalir disepanjang pipinya.
            Aku terdiam dan tak sanggup lagi berkata-kata. Kakek adalah orang yang paling aku sayang.
“Antar aku ke makam kakek, bu. Sekarang!” Pintaku seraya berdiri dengan meneteskan air mata.
“Tapi nak…”
“Ayo bu !
            Tanpa berpikir panjang, ibu langsung membopongku masuk ke mobil. Di sepanjang jalan, aku mengenang wajah renta itu. Kulit keriput dan mata sayu itu telah memberiku setitik arti kehidupan. Pesan-pesannya yang terakhir akan aku simpan dalam ingatanku yang terdalam.
            Sesampainya di makam kakek, aku termenung. Aku usap nisannya yang masih baru itu. Aku remas tanah yang menyelimuti tubuh kakek itu. Dan serpihan mawar yang bertabur memenuhi gundukan peristirahatan kakek. Aku menjerit, menangis, dan berteriak.
“Tuhan, kau sudah ambil nenekku. Kenapa sekarang kau ambil kakekku Tuhan. Kenapa? Apa tak cukup kau berikan aku kesedihan karena kau ambil nenekku?” Tanyaku memberontak takdir Tuhan. Tak ada sepatah kata pun yang menjawabku. Bahkan serpihan mawar yang terbang tertiup angin meninggalkan aku dan gundukan itu.
“Keyla, ayo pulang! Sudah sore”
“Aku masih ingin bersama kakek bu”
“Sudahlah, ayo kapan-kapan kita berkunjung lagi kemari. Kita bawakan mawar-mawar serta doa untuknya.” Ibu coba membujukku.
            Dan akupun mengikuti kata-kata ibu. Kami bergegas untuk pulang. Karena cuaca semakin mendung. Ibu khawatir kalau hujan datang tiba-tiba.
            Hari berganti hari. Semenjak kematian kakek aku suka menyendiri. Merenungkan segala nasib baik burukku selama ini. Dan merenungkan pula kata-kata kakek yang di sampaikan saat terakhir bertemu denganku. Aku janji kek, aku tak akan mengecewakanmu, serta akan menjadi anak kebanggaan ayah dan ibu.
            Tuhan, terimakasih Tuhan, karena kau telah memperkenalkan aku dengan seorang kakek yang begitu sayang padaku. Dan terimakasih Tuhan Engkau masih menyisakan orang yang menyayangiku untuk tinggal di sisiku. Kini aku tahu semua berawal dari-Mu dan akan kembali pula pada-Mu Tuhan.

***SELESAI***